Rabu, 19 Maret 2014

MENGENAL BATUBARA


BATUBARA


3.1   Pengertian Batubara
                        Beberapa ahli telah mencoba memberikan definisi batubara yaitu:
        a.  Menurut Spackman (1958) Batubara adalah suatu benda padat   karbonan berkomposisi maseral 
    tertentu.
      b. Menurut The lnternational Hand Book of Coal Petrography (1963)Batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tanaman dalam variasi tingkat pengawetan, diikat oleh proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi, dari dangkal sampai dalam.
       c. Menurut Thiessen (1974) Batubara adalah suatu benda padat yang kompleks, terdiri dari bermacam-macam unsur kimia atau merupakan   benda padat organik yang sangat rumit.
     d. Menurut Achmad Prijono, dkk. (1992)  Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon padat yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dalam   lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh temperatur serta tekanan yang berlangsung sangat lama.
               Dari beberapa sumber diatas, dapat dirangkum suatu definisi yaitu:  Batubara adalah berupa sedimen organik bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang telah mengalami  pembusukan secara biokimia, kimia dan fisika dalam kondisi bebas oksigen yang berlangsung pada tekanan serta temperatur tertentu pada  kurun waktu yang sangat lama.
                        Sampai pada abad ke 20, para ahli kimia hanya mengetahui sedikit tentang komposisi dan struktur molekul dari beragam jenis batubara, dan hingga 1920, mereka masih meyakini bahwa komposisi batubara terutama didominasi oleh karbon yang dicampur dengan hidrogen, dan dengan beberapa impurities(zat pengotor). Dua metode analisis dan pemisahan batubara yang mereka gunakan, diantaranya adalah destilasi destruktif dan ekstraksi pelarut menunjukkan bahwa batubara hanya mengandung             karbon, dan konsentrasi hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur yang lebih sedikit. Adanya kandungan senyawa anorganik seperti aluminium dan silikon oksida akan menghasilkan abu pada hasil pembakaran batubara. Proses destilasi akan menghasilkan tar, air, dan gas. Hidrogen merupakan   komponen utama dari gas yang dihasilkan, walaupun amonia, gas karbon  monoksida dan dioksida, benzen dan beberapa uap gas hidrokarbon juga  terbentuk.

3.2       Proses Terbentuknya Batubara
                                    Batubara terbentuk dari tanaman yang telah tertimbun di dalam tanah   dan terjaga pada tekanan yang tinggi dan pemanasan dalam jangka waktu yang lama. Tanaman mengandung kandungan selulosa yang tinggi. Setelah tanaman dan pepohonan tersebut tertimbun dalam jangka waktu tertentu di   dalam tanah akan terjadi perubahan kimia yang merendahkan kadar oksigen dan hidrogen dari molekul selulosa tersebut . Para pakar geologis meyakini bahwa proses pengendapan batubara di dalam tanah    terbentuk sekitar 250-  300 juta tahun yang lalu, ketika sebagian besar bumi masih dilapisi oleh hutan dan pepohonan yang lebat. Pohon dan tanaman tersebut akan mengalami proses regenerasi dimana  bagian dari tanaman yang berguguran akan tertimbun dalam lapisan tanah, dan proses ini akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen dan hidrogen secara bertahap pada    molekul.
                                    Selama degradasi dari tanaman yang telah mati, dekomposisi dari protein, pati, dan selulosa lebih cepat daripada dari bahan kayu. Pada berbagai tingkat, dan dengan berbagai kondisi iklim yang berbeda, konstituen dari tanaman akan terdekomposisi dalam kondisi aerob membentuk karbon dioksida, air, dan ammonia. Proses ini disebut “humifikasi” dan akan membentuk gambut. Gambut ini kemudian tertutup oleh lapisan sedimen, tanpa adanya udara, dan karenanya tahap kedua dari proses pembentukan batubara terjadi dalam kondisi anaerob. Pada tahap kedua, proses gabungan antara temperatur, tekanan, dan waktu akan mengubah lapisan gambut menjadi brown coal ( lignit), dan kemudian sub-bituminus, dan kemudian membentuk antrasit. Jenis-jenis batubara ini umumnya disebut dengan batubara hitam ( black coals). Dalam kondisi yang paling basah ( lembab) akan dihasilkan batubara dengan mutu yang paling rendah, batubara coklat ( lignit). Pada temperatur dan tekanan yang lebih tinggi dan dengan waktu yang cukup, akan membentuk batubara subbituminus, dan bahkan membentuk antrasit.
                        Ada 2 teori yang menerangkan terjadinya batubara (Krevelen,  1993) yaitu :
 1.  Teori In-situ 
            Pada Teori ini Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori in-situ biasanya terjadi di hutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut, dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan secara sempurna, dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen organik. Batubara yang dihasilkan dari proses ini memiliki kualitas yang baik. Penyebaran batubara jenis ini sifatnya merata dan luas, bisa dijumpai di wilayah Muara Enim, Sumatera Selatan
            2.  Teori Drift 
        Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan yang bukan di tempat dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori drift biasanya terjadi di delta-delta, mempunyai ciri-ciri lapisan batubara tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya (multiple seam), banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi). Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Kualitas batubara yang dihasilkan dari proses ini tergolong kurang baik karena tercampur  material pengotor pada saat proses pengangkutan. Penyebaran batubara ini tidak begitu  luas, namun dapat dijumpai di beberapa tempat seperti di lapangan batubara delta Mahakam Purba, Kalimantan Timur.
                        Setelah tumbuhan-tumbuhan pembentuk tadi mati, lalu berakumulasi maka terjadilah proses pembentukan batubara melalui dua tahapan, yaitu
1.  Proses humification / peatification (humufikasi / penggambutan)
        Pada daerah yang berkondisi basah, tumbuh-tumbuhan mati tersebut akan mengalami dekomposisi dan pembusukan akibat adanya aktivitas berbagai prganisme. Organisme yang berperan paling awal adalah organisme aerobik seperti jamur, serangga dan bakteri aerobik, lalu bila tumbuhan mati tersebut terrimbun sehingga organisme aerobik tidak dapat lagi bekerja, maka organisme anaerobik mulai berperan sehingga akan terjadi proses perubahan menjadi gambut. Gambut merupakan tahapan sebelum terbentuknya batubara. proses penggambutan sebenarnya merupakan proses biokimia yang meliputi hidrolisis, oksidasi dan reduksi oleh adanya bakteri dan jamur. Proses ini dimulai dengan teroksidasinya tumbuhan mati oleh organisme aerobik. Lalu unsur-unsur hidrokarbon yang terdapat pada tumbuhan mati tersebut akan terekstrasi sehingga akan tersisa suatu zat / substansi yang memiliki kandungan karbon dan oksigen yang tinggi. Dengan kata lain tahap penggambutan adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 - 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan unsur H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Gambar 1.1) (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).


                                                                    Gambar 1.1  Proses Pembentukan Batubara

            2.  Proses coalification (Pembatubaraan)
                        Proses pembatubaraan dimulai setelah gambut telah terbentuk tertimbun oleh lapisan-lapisan sedimen. Proses ini terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahapan biokimia dan geokimia. Dengan kata lain proses ini merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Temperatur dan tekanan berperan penting karena kenaikan temperatur akan mempercepat proses reaksi, dan tekanan memungkinkan reaksi terjadi dan menghasilkan unsur-unsur gas. Proses metamorfisme (temperatur dan tekanan) ini terjadi karena penimbunan material pada suatu kedalaman tertentu atau karena pergerakan bumi secara terus-menerus didalam waktu dalam skala waktu geologi. Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.


                                                     Gambar 1.2  Skema Pembentukan Batubara 

                        Berdasarkan skema tersebut, Batubara dapat digolongkan menjadi empat jenis tergantung dari umur dan lokasi pengambilan batubara, yakni lignit, subbituminous, bituminous, dan antrasit, dimana masing- masing jenis batubara tersebut secara berurutan memiliki perbandingan C : O dan C : H yang lebih tinggi. Antrasit merupakan batubara yang paling bernilai tinggi, dan lignit, yang paling bernilai rendah (Gambar 1.2).
1.  Lignit
            Disebut juga brown-coal, merupakan tingkatan batubara yang paling rendah, dan umumnya digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik.
2.  Subbituminous
            Umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap. Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku yang penting dalam pembuatan hidrokarbon aromatis dalam industri kimia sintetis .
3.  Bituminous
            Mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua, sering digunakan dalam pembangkit listrik tenaga uap (Tabel 1.1).
4.  Antrasit
            Merupakan jenis batubara yang memiliki kandungan paling tinggi dengan struktur yang lebih keras serta permukaan yang lebih kilau dan sering digunakan keperluan rumah tangga dan industri (Tabel 1.1).

Komposisi Elemen dari Beberapa tipe Batubara
Persentase Massa
Jenis Batubara
%C
%H
%O
%H2O
% Volatile matter
Lignit
60-75
5-6
20-30
50-70
45-55
Subbituminous
75-80
5-6
15-20
25-30
40-45
Bituminous
80-90
4-5
10-15
5-10
20-40
Antrasit
90-95
2-3
2-3
2-5
5-7

                                               Tabel 1.1  Komposisi Elemen dari Beberapa tipe Batubara

3.3       Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara
                        Cara terbantuknya batubara melalui proses yang sangat panjang dan lama, disamping dipengaruhi faktor alamiah yang tidak mengenal batas waktu terutama ditinjau dari segi fisika, kimia ataupun biologis. Faktor-faktor tersebut (Hutton dan Jones, 1995) antara lain
1.  Posisi Geoteknik
        Posisi geoteknik adalah letak suatu tempat yang merupakan cekungan sedimentasi yang keberadaanya dipengaruhi oleh gaya tektonik lempeng. Posisi geoteknik dapat mempengaruhi struktur cekungan batubara, iklim lokal, topologi dan morfologi serta kecepatan penurunan gambut. Semakin dekat cekungan sedimentasi batubara yang terbentuk atau terakumulasi, terhadap posisi kegiatan tektonik lempeng, maka kualitas batubara yang dihasilkan akan semakin baik.
2.  Keadaan Topografi
        Daerah tempat tumbuhan berkembang biak merupakan daerah yang relatif mempunyai ketersediaan air. Tempat tersebut mempunyai topografi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang ada di sekelilingnya. Makin luas daerah dengan topografi rendah, maka makin banyak pula tanaman yang tumbuh, sehingga makin banyak bahan pada pembentukan batubara. Apabila keadaan topografi daerah dipengaruhi pleh gaya tektonik, baik yang mengakibatkan penaikan ataupun penurunan topografi, maka akan berpengaruh pula terhadap luas tanaman yang merupakan bahan utama sebagai bahan pembentuk batubara. Hal ini  merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan penyebaran batubara berbentuk seperti melensa.
3.  Iklim Daerah
                        Iklim sangatlah berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Didaerah yang berilklim tropis, hampir semua tanaman dapat hidup yang dikarenakan tingkat curah hujan dan ketersediaan matahari sepanjang waktu yang memungkin tanaman tumbuh dengan cukup baik. Oleh karena itu, didaerah yang beriklin tropis pada masa lampau sangatlah memungkinkan didapatkan endapan batubara dalam jumlah banyak, sebaliknya pada daerah yang beriklim subtropics mempunyai endapan batubara yang relative lebih sedikit.
4.  Proses Penurunan Cekungan Sedimentasi
                        Cekungan sedimentasi yang ada di alam relative dinamis, artinya dasar cekungan akan mengalami proses penurunan atau pengangkatan. Makin sering dasar cekungan sedimentasi mengalami proses penurunan, maka batubara yang terbentuk akan semakin tebal.
5.  Umur Geologi
                        Zaman Karbon (± 350 juta tahun yang lalu), merupakan awal munculnya tumbuh-tumbuhan di dunia. Sejalan dengan proses tektonik yang terjadi, daerah tempat tumbuhnya tanaman telah mengalami proses coalification cukup lama, sehingga menghasilkan mutu batubara yang sangat baik. Jenis batubara dengan jenis ini banyak dijumpai di belahan bumi bagian Utara. Contohnya: Amerika Utara dan Eropa (pada kedalam 3 mil yang membentang dari Scotlandia sampai Selesia (Polandia). Batubara di Indonesia, didapatkan di cekungan sedimentasi yang berumur Tersier (± 70 juta tahun yang lalu). Dalam kurung waktu tersebut, proses coalification belum terjadi secara sempurna. Hal ini mengakibatkan kualitas batubara di Indonesia belum berkualitas baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tua lapisan batuan sedimen yang mengandung batubara, maka semakin tinggi rank (peringkat) dari baubara tersebut.
6.  Jenis Tumbuh-Tumbuhan
        Present is the key to the past merupakan salah satu konsep geologi yang mampu menjelaskan kaitan antara mutu batubara dengan tumbuhan semula yang merupakan bahan utama pembentuk batubara. Batubara yang terbentuk dari tumbuhan keras dan berumur tua akan lebih baik debandingkan dengan batubara yang terbentuk dari taanaman berbentuk semak dan hanya berumur semusim. Makin tinggi tingkataan tumbuhan dan makin tua umur tumbuhan tersebut, apabila menalami proses coalification, akan menghasilkan batubara dengan kualitas baik.
7.  Proses Dekomposisi
                         Proses dekomposisi tumbuhan merupakan bagian dari transformasi biokimia pada bahan organik. Selama porses pembentukkan batubara, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimia. Setelah tumbuhan mati, proses degredasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) kan terjadi sebagai akibat kinerja dari mikrobiologi dalam bentuk bakteri anaerobic. Bakteri ini bekerja dalam keadaan tanpa oksegen, menghancurkan bagaian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose, protolasma, dan karbohidrat. Proses ini membuat kayu berubah menjadi lignit, bitumina. Selama poses biokimia berlangsung, dalam keadaan kurang oksigen mengakibatkan keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon (C) yang akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan metana (CH4). Akibat lepasnya unsur atau senyawa ini maka jumlah unsur karbon (C) akan relatif bertambah.

8.  Sejarah Setelah Pengendapan
            Sejarah cekungan tempat terjadi pembentukan batubara salah satu faktor diantaranya ditentukan pleh posisi cekungan sedimentasi tersebut terhadap posisi geoteknik. Semakin dekat posisi cekungan sedimentasi terhadap posisi geoteknik yang selalu dinamis, akan mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan letak batubara berada. Selama waktu itu pula, proses geokimia dan metamorfisme organic akan ikut berperan dalam mengubah gambut (endapan sedimen organic yang mudah terbakar dengan kandungan air lebih dari 75%)menjadi batubara. Apabila dinamika geoteknik memungkinkan terjadinya pensesaran dan perlipata pada lapisan batubara, dapat mempercepat batubara dengan rank tinggi.  Proses ini akan dipercepat pula apabila daerah tersebut mengalami proses intrusi magmatis. Panas yang dihasilkan dari proses intrusi magmatis akan mempercepat proses coalification, sehingga kadar C akan lebih tinggi dari H2O.
9.  Struktur Geologi Cekungan
            Batubara terbentuk pada cekungan sedimentasi yang sangat luas, sehingga mencapai ratusan hingga ribuan hektar. Dalam sejarah bumi, batuan sedimen merupakan bagian kulit bumi, akan mengalami deformasi akibat gaya tektonik. Cekungan akan mengalami deformasi lebih hebat apabila cekungan tersebut berada dalam satu sistem geantiklin atau geosinklin. Akibat gaya tektonik yang terjadi pada waktu-waktu tertentu, batubara bersama dengan batuan sedimen yang merupakan perlapisan diantaranya akan terlipat dan tersesarkan. Proses perlipatan dan pensesaran tersebut akan berpengaruh pada proses metamorfosis batubara dan batubara akan menjadi lebih keras dan lapisannya terpatah-patah. Makin banyak perlipatan dan pensesaran yang terjadi di lapisan sedimen yang mengandung batubara, secara teoritis akan meningkatkan kualitas dari batubara tersebut. Oleh sebab itu, pencarian batubara bermutu baik diarahkan pada daerah daerah geosinklin atau geantiklin karena daerah tersebut tektoniknya intensif.
10.  Metamorfosa Orogenik
            Tingkat kedua dalam proses pembentukan batubara adalah penimbunan atau penguburan oleh sedimen baru. Apabila telah terjadi proses penimbunan, proses degradasi biokimia tidak berperan lagi., tetapi mulai digantikan dan didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan senyawa kimia lainnya antara lain CO, CO2, CH4 serta gas lainnya. Dilain pihak terjadi pertambahan presentasi karbon (C), Belerang (S) dan kandungan abu. Peningkatan mutu batubara sangat ditentukan oleh facktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat diakibatkan oleh lapisan sedimen penutup yang tebal atau karena adanya tektonik. Makin lama selang waktu dari mulai bergradasi sampai terbentuk batubara, maka makin baik mutu dari batubara yang diperoleh. Faktor tersebut dapat mempercepat proses metamorfosa organik. Proses ini akan mengubah gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan kimia, fisika dan tampak pula pada sifat optiknya (Sukandarrumidi, 2006). 

Kamis, 15 Agustus 2013

KONDISI GEOLOGI DAN POTENSI MINYAK BUMI DAN GAS PADA CEKUNGAN BONE

KONDISI GEOLOGI DAN POTENSI MINYAK BUMI DAN GAS PADA CEKUNGAN BONE

BOBBY ARMANDA SITUMORANG
21100110141004
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI UNIVERSTIAS DIPONEGORO, SEMARANG

ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai suatu keunikan. Indonesia terletak di daerah yang strategis dari segi Geologinya. Indonesia terletak di pertemuan lempeng besar diantaranya lempeng Eurasia, Pasifik, Australia dan lempeng kecil seperti Lempeng Filipina. Dari pertempuan lempeng tersebut di Indonesia mempunya banyak cekungan cekungan yang sangat berpotensi sebagai tempat tersimpannya hidrokarbon. Jadi dari hal itu, Indonesia kaya akan sumber daya alamnya. Sudah banyak cekungan diIndonesia yang do eksplorasi dan dieksploitasi untuk diambil sumberdaya alamnya berupa Minyak bumi, gas bumi, batubara dan yang lainnya. Cekungan di daerah Sulawesi menyimpan banyak kandungan alamnya. Hal ini diakibatkan dari pembentukan Pulau Sulawesi yang berupakan hasil dari tumbukan antar lempeng. Diantaranyanya adalah cekungan Bone yang terletak di Sulawesi bagian selatan. Cekungan bone terletak di Teluk Bone. Ada tiga peristiwa tektonik yang berperan pada perkembangan Cekungan Bone dan proses sedimentasinya yaitu peristiwa pertama, peristiwa kedua, dan peristiwa ketiga. Sedangkan system petroleum yang berkembang pada cekungan ini yang melingkupi proses pembentukan material hidrokarbon terdiri atas lima komponen yaitu source rock (batuan induk), reservoir, migrasi, trap (jebakan), dan seal (batuan penudung). Eksplorasi hidrokarbon di Teluk Bone bagian utara sudah mulai dilakukan pada tahun 1971. Eksplorasi daerah tersebut dilakukan karena di perkirakan daerah ini berpotensi mengandung hidrokarbon. Beberapa petunjuk adanya hidrokarbon diantaranya adanya rembesan gas di Sengkang, Desa Pongko dan Malangke. Pengambilan data seismik dan kegiatan pemboran ekspolrasi telah dilakukan di daerah tersebut
Kata kunci : Hidrokarbon, Cekungan Bone, Eksplorasi, Eksploitasi, Lempeng




PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perairan Teluk Bone Secara administratif terletak di Propinsi Sulawesi Selatan (di sebelah barat dan utara) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (di sebelah timur). Wilayah Administratif dari Propinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bulukumba, Kab. Sinjai, Kab. Bone, Kab. Wajo, Kab. Luwuk, Kodya Polopo, Kab. Luwuk Utara, Kab. Luwuk Timur. Sedangkan wilayah administratif di Propinsi Sulawesi Tenggara yang berbatasan dengan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bombana dan Kab. Kolaka. Laut Flores adalah batas sebelah selatan dari perairan Teluk Bone. Pulau Sulawesi terletak di tepi bagian timur daratan Sunda (Sundaland) yang merupakan inti benua yang mantap dari lempeng Eurasia bagian tenggara (Hutchsin, 1989 dalam Soemandjuntak, 2004:26). Pulau ini terbentuk disepanjang lajur tumbukan antara lempeng Eurasia di barat, lempeng pasifik di timur dan kepingan benua mini yang berasal dari lempang Indo-Australia (Hamlthon, 1979 dalam Simandjuntak, 2004:26). Sulawesi adalah Salah satu mosaic kepingan benua dalam proses amalgamasi dan akrasi di pinggir timur benua Asia, keempat lengan utara Sulawesi membentuk mandala megatektonik yang berbeda
Teluk Bone dicirikan sebagai tempat bermuaranya Sungai Cenrana. Secara geografis Sungai Cenrana menjadi muara dari sejumlah sungai besar dan kecil di Sulawesi Selatan. Dimana air dari Sungai Cenrana ini kemudian mengalir ke Teluk Bone. Cekungan Bone merupakan Cekungan tulang terletak antara busur vulkanik barat daya dan kompleks tabrakan tenggara wilayah Sulawesi Selatan. Basin ini jelas berbingkai besar oleh kesalahan NS marjinal berorientasi, paralel subporosnya. Margin barat daya cekungan dibatasi oleh NS berorientasi Walanae dan Bone West BaySistem Fault, sementara margin timur laut cekungan berbatasan dengan Sistem Sesar Tulang Timur.
Pada paper ini akan membahas mengenai ekspolorasi hidrikarbin dengan menggunakan berbagai metode metode.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep escape tectonics (extrusion tectonics) yang dikemukakan oleh Molnar dan Tapponnier (1975), Tapponnier dkk. (1982), dan Burke dan Sengör (1986) dicoba diterapkan di Indonesia (Satyana, 2006). Escape tectonics adalah konsep tektonik yang membicarakan terjadinya gerak lateral suatu blok geologi menjauhi suatu wilayah benturan di benua dan bergerak menuju wilayah bebas di samudra. Karena itu, peneyebutan konsep tektonik ini lebih sesuai bila disebut : post-collisional tectonic escape (gerak lateral menjauh pascabenturan).  Eksplorasi hidrokarbon di wilayah Indonesia membantu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah  terjadi escape tectonics di Indonesia. Secara singkat bisa dikatakan, zone benturan dicirikan oleh jalur sesar-lipatan yang ketat, sementara hasil escape tectonics dicirikan oleh sesar-sesar mendatar regional, sesar-sesar normal, dan retakan-retakan atau pemekaran kerak Bumi. Awang Harun Satyana mengidentifikasi lima peristiwa benturan di Indonesia yang membentuk atau mempengaruhi sejarah tektonik Indonesia sepanjang Kenozoikum.

METODOLOGI
Dalam penulisan paper ini digunakan dua metode yaitu :
1.      Studi literatur, yaitu mempelajari referensi tentang seputaran topik bahasan yang kemudian telah dipersempit menjadi judul yang terdapat pada artikel, jurnal, serta buku-buku yang memuat seputaran topik bahasan.
2.      Studi media elektronik, yaitu mengambil data-data maupun referensi tentang seputaran topik bahasan yang terdapat pada media internet.


PEMBAHASAN
Berdasarkan keadaan litotektonik atau tektonikstratigrafi,Pulau Sulawesi dibagi 4 yaitu:
1. Mandala barat(West &North Sulawesi Volcano- Plutonic Arc) sebagai jalur magmatik (Cenozoic Volcanics and Plutonic Rocks)yang  merupakan bagian  ujung timur Paparan Sunda;
2. Mandala tengah (CentralSulawesi Metamorphic Belt)
berupa batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia;
3. Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa ofiolit yang merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen berumur Trias-Miosen
4. Banggai–Sula and Tukang Besi Continental fragments kepulauan paling timur Banggai-Sula dan Buton merupakan pecahan benua yang berpindah ke arah barat karena strike slip faults dari- New Guinea.
Cekungan Bone ini merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon di Indonesia. Lataknya di daerah Sulawesi bagian selatan. Benturan pertama adalah benturan India ke Eurasia yang terjadi mulai 50 atau 45 Ma (Eosen awal-tengah). Benturan ini telah menghasilkan Jalur Lipatan dan Sesar Pegunungan Himalaya yang juga merupakan suture Indus. Benturan ini segera diikuti oleh gerakan lateral Daratan Sunda (Sundaland) ke arah tenggara, sebagai wujud escape tectonics, diakomodasi dan dimanifestasikan oleh sesar-sesar mendatar besar di wilayah Indocina dan Daratan Sunda, pembukaan Laut Cina Selatan, pembentukan cekungan-cekungan sedimen di Malaya, Indocina, dan Sumatra, dan saat ini oleh pembukaan Laut Andaman. Sesar-sesar ini terbentuk di atas dan menggiatkan kembali garis-garis suture akresi batuandasar berumur Mesozoikum di Daratan Sunda. Sesar-sesar besar hasil escape tectonics ini adalah: Sesar Red River-Sabah, Sesar Tonle-Sap-Mekong (Mae Ping),  Sesar Three Pagoda-Malaya-Natuna-Lupar-Adang, dan Sesar Sumatra.
Eksplorasi hidrokarbon di Teluk Bone bagian utara sudah mulai dilakukan pada tahun 1971. Eksplorasi daerah tersebut dilakukan karena di perkirakan daerah ini berpotensi mengandung hidrokarbon. Beberapa petunjuk adanya hidrokarbon diantaranya adanya rembesan gas di Sengkang, Desa Pongko dan Malangke. Pengambilan data seismik dan kegiatan pemboran ekspolrasi telah dilakukan di daerah tersebut. Rekaman seismik daerah tersebut kurang sempurna. Interpretasi seismik daerah tersebut menunjukan ketebalan batuan sedimen Tertier di sumur BBA 1x adalah 1600 meter. Pemboran yang dilakukan berhenti pada batuan berumur Miosen tengah, pada kedalaman 10500 feet, dan dihasilkan dry hole.
Korelasi stratigrafi regional menunjukkan bahwa pemboran belum mencapai batuan sedimen berumur Eosen yang di duga terdapat di daerah tersebut, dimana batuan tersebut dapat berfungsi sebagai batuan sumber dan reservoir hidrokarbon.
Evaluasi data gravity menunjukan bahwa ketebalan sedimen Tertier mencapai ketebalan lebih dari 1600 meter. Dengan harapan untuk menemukan hidrocarbon di daerah tersebut disarankan perlu dilakukan evaluasi ulang terutama pemrosesan data seismik di daerah tersebut.


KESIMPULAN
Ada tiga peristiwa tektonik yang berperan pada perkembangan Cekungan Bone dan proses sedimentasinya yaitu peristiwa pertama, peristiwa kedua, dan peristiwa ketiga.  Eksplorasi daerah tersebut dilakukan karena di perkirakan daerah ini berpotensi mengandung hidrokarbon .
Sedangkan system petroleum yang berkembang pada cekungan ini yang melingkupi proses pembentukan material hidrokarbon terdiri atas lima komponen yaitu source rock (batuan induk), reservoir, migrasi, trap (jebakan), dan seal (batuan penudung). Eksplorasi hidrokarbon di Teluk Bone bagian utara sudah mulai dilakukan pada tahun 1971. Eksplorasi daerah tersebut dilakukan karena di perkirakan daerah ini berpotensi mengandung hidrokarbon. Beberapa petunjuk adanya hidrokarbon diantaranya adanya rembesan gas di Sengkang, Desa Pongko dan Malangke. Pengambilan data seismik dan kegiatan pemboran ekspolrasi telah dilakukan di daerah tersebut

REFERENSI
Daly M.C., Cooper, M.A., Wilson J.,Smith, D.G., Hooper,B.G.D., 1991, Cenezoic Plate Tectonics and Basin Evalution in Indonesia; Marine and Petroleum Geology
Katili, J. A., 1975, Volcanism and Plate Tectonics in the Indonesian Island, Tectonophysics, 26,p. 165-
http://id.scribd.com/doc/142205498/Cekungan-Di-Indonesia188 (Diakses tanggal 2 juli 2014 pukul 19.00)